(Gumiwang 8/3/2024)- Angka pernikahan usia dini di kabupaten Wonosobo tergolong masih cukup tinggi, hal tersebut menjadi fokus penanganan Pemerintah Desa Gumiwang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak pengendalian penduduk dan keluarga berencana Desa Gumiwang, untuk menindak lanjutinya. Salah satunya dengan menggelar sosialisasi pencegahan pernikahan dini, yang dilaksanakanakan di Gedung Taman Baca Desa Gumiwang, Jum'at (8/3/24).
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dari ini yang kami maksud dengan pernikahan dini adalah perkawinan yang dilakukan sebelum laki-laki dan perempuan calon mempelai mencapai usia 19 tahun.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan dini, yaitu yang calon suami/istrinya di bawah 19 tahun, pada dasarnya tidak dibolehkan oleh undang-undang. Selain itu, bila calon mempelai belum mencapai usia 21 tahun, ia harus mendapatkan izin kedua orang tua agar dapat melangsungkan pernikahan.
Menikah di usia terlalu muda dapat menghambat perkembangan emosional remaja karena mereka harus menghadapi tanggung jawab perkawinan dan peran orang dewasa pada usia yang masih belia. Remaja juga rentan menghadapi tekanan emosional, stres, dan risiko depresi yang lebih tinggi.
Pemerintah Desa Gumiwang, berupaya melakukan pencegahan pernikahan dini dari tahun 2023 (kesatu) dan untuk 2024 adalah yang ke dua kalinya. Pemerintah Desa Gumiwang bersepakat untuk tidak mau menandatangani persyaratan pernikahan dini (dibawah 18 tahun), karena Pemerintah Desa Gumiwang juga ingin mengatasi adanya stunting yang cukup banyak di wilayah Desa Gumiwang maupun Kabupaten Wonosobo, Ujar Suyitno pada sosialisasi pencegahan pernikahan dini (8/3/24)
Cara Pencegahan Pernikahan Dini
1. Menyediakan Pendidikan Formal Memadai Ketika anak-anak perempuan dan laki-laki mendapatkan kesempatan akses pendidikan formal yang memadai, maka pernikahan dini dapat dicegah. Setidaknya, minimal anak-anak dapat menyelesaikan pendidikan SMA sebelum menikah. Riset menunjukkan, meningkatnya tingkat pendidikan dapat mengurangi jumlah perkawinan anak. Mendapatkan akses ke pendidikan formal juga membuat anak-anak memiliki kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil. Hal tersebut pada akhirnya dapat lebih memudahkan untuk mencari pekerjaan sebagai persiapan untuk menghidupi keluarga.
2. Pentingnya Sosialisasi tentang Pendidikan Seks Kurangnya informasi terkait hak-hak reproduksi seksual menjadi salah satu alasan masih tingginya pernikahan dini di Indonesia. Mengedukasi anak muda tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi seksual penting untuk dilakukan. Hal tersebut tak lepas terjadi karena masih kurangnya pengetahuan tentang hubungan seksual yang dapat mengakibatkan komplikasi kehamilan hingga dipaksa untuk menikahi pasangan mereka. Penelitian Aliansi Remaja Independen pada 2016 menunjukkan bahwa 7 dari 8 anak perempuan di Jakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur mengaku hamil sebelum menikah. Padahal, kehamilan di usia dini dapat meningkatkan kemungkinan meninggal dua kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang hamil di usia 20-an.
3. Memberdayakan Masyarakat Agar Lebih Paham Bahaya Pernikahan Dini Orang tua dan masyarakat sekitar adalah stakeholder terdekat yang dapat mencegah terjadinya pernikahan dini. Oleh karena itu, penting untuk memberikan pemberdayaan kepada mereka terkait konsekuensi negatif dari pernikahan dini. Adanya pendidikan tersebut diharapkan dapat menginspirasi agar membela hak-hak anak perempuan dan tidak memaksanya untuk menikah dini. Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
4. Meningkatkan Peran Pemerintah Cara pencegahan pernikahan dini agar tidak timbulkan komplikasi kehamilan bisa dilakukan dengan mendorong peran pemerintah dalam meningkatkan usia minimum pernikahan. Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah mengatur bahwa perkawinan akan diizinkan apabila anak laki-laki dan perempuan telah mencapai usia 19 tahun. Kebijakan hukum lain yang dapat menjadi alat untuk mencegah pernikahan dini di antaranya seperti pencatatan akta kelahiran dan perkawinan.
5. Mendorong Terciptanya Kesetaraan Gender Anak perempuan lebih rentan mengalami pernikahan dini lantaran persepsi dan ekspektasi masyarakat terhadap peran domestik atau rumah tangga. Keluarga dan masyarakat cenderung menganggap anak perempuan lebih siap untuk menikah ketika sudah bisa melakukan pekerjaan rumah tangga. Sebaliknya, laki-laki justru lebih dibebaskan untuk menikah dan menjadikan kemandirian secara ekonomi sebagai kesiapan. Padahal, mau perempuan atau laki-laki memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihannya dalam menikah. Selain itu, perempuan juga memiliki hak untuk terus berkarya tanpa harus ditakuti dengan stigma “jangan jadi perawan tua, nanti nggak ada laki-laki yang mau”.